https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
Oleh:
DR. Heny Hindriani
(Alumni Program Doktor, Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, IPB Bogor)
Krisis multi dimensi Indonesia yang terjadi sejak tahun 1997, merupakan contoh yang dapat kita rasakan betapa pembangunan yang terlalu cepat t
anpa perencanaan dan pengawasan yang tepat dan cermat membawa perubahan yang berakibat pada hancurnya ekosistem dan tatanan sosial kemasyarakatan. Berbagai pemikiran baru dan upaya nyata sedang dilakukan dengan memaknai nilai spritual dan mencari solusinya melalui pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) yang berakar pada pemikiran untuk mengintegrasikan ekonomi dan ekologi . Ide ini merupakan paradigma baru dalam pembangunan yang mulai diterjemahkan ke dalam berbagai konsep yang mengandung dua gagasan, yaitu : gagasan kebutuhan esensial untuk kelangsungan hidup manusia dan gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa akan datang.
Salah satu skema pembangunan berkelanjutan bidang lingkungan adalah tentang jasa lingkungan, yang diartikan sebagai penyediaan, pengaturan, penyokong proses alami dan pelestarian nilai budaya oleh suksesi alamiah dan manusia yang bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan. Sedangkan pembayaran jasa lingkungan adalah pemberian imbal jasa berupa pembayaran finansial dan non finansial kepada pengelola lahan atas jasa lingkungan yang dihasilkan (World Agroforestry Centre).
Komponen Sistem Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) adalah; jasa lingkungan yang dapat diukur, penyedia, pemanfaat, dan tata cara pembayaran. Adapun tujuan pembayaran finansial dan non finansial jasa lingkungan adalah; pertama, sebagai alternatif sistem produksi dan pengelolaan lahan yang lebih ramah lingkungan; kedua, sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan pengelola lahan, dan ketiga; sebagai upaya perlindungan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam untuk pembangunan ekonomi dan sosial yang lestari.
Pendekatan berbasis pasar dalam pembayaran dan imbal jasa lingkungan makin menarik perhatian banyak kalangan, dan ini merupakan kesempatan bagi masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan konservasi untuk meningkatkan taraf hidup mereka tidak hanya dari sisi ekonomi (economic rewards) tetapi juga dari sisi lain yaitu dengan adanya peningkatan modal sosial dan pengakuan atas hak masyarakat dalam mengelola dan mengakses sumber daya alam (recognition). Di Indonesia sejumlah inisiatif dan implementasi di lapangan sudah mulai dilaksanakan. Salah satunya adalah pembayaran dan imbal jasa di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cidanau Banten.
Model pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau
Daerah Aliran Sungai (DAS) Cidanau merupakan salah satu DAS penting di wilayah Propinsi Banten. Di dalam kawasan DAS Cidanau terdapat kawasan Cagar Alam Rawa Danau suatu kawasan yang memiliki potensi keanekaragaman hayati endemis terutama untuk ekosistem rawa, karena Rawa Danau merupakan kawasan rawa pegunungan satu – satunya yang masih tersisa di Pulau Jawa. yang merupakan sumber air baku untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat dan industri di Kota Cilegon dengan jumlah ± 120 perusahaan dengan total investasi mencapai US $ 1,936,643,291. DAS Cidanau mencakup kawasan seluas 22.620 Ha, yang mencakup wilayah Kabupaten Pandeglang seluas 999,29 Ha dan Kabupaten Serang seluas 21.620,71 Ha. Tata guna lahan di DAS Cidanau meliputi: Hutan belukar, rawa, sawah, semak, kebun campuran, ladang dan pemukiman.
Permasalahan utama di DAS Cidanau, antara lain: Tingkat erosi yang mencapai 71.034,40 ton/tahun dan nilai sedimentasi yang mencapai 75,68 cm/tahun; penebangan pohon di kawasan Perhutani (illegal loging) dan di kawasan hutan rakyat di upstream mempengaruhi eksistensi Cagar Alam Rawa Danau yang juga berfungsi sebagai reservoir Sungai Cidanau; ketersediaan air menunjukkan kecenderungan terus menurun karena fluktuasi debit minimal dan maksimal sebesar 15 s.d 32 kali; tumbuh suburnya gulma akibat penggunaan pupuk kimia oleh masyarakat di sekitar kawasan Cagar Alam Rawa Danau; perambahan kawasan Cagar alam Rawa Danau seluas ± 849 Ha oleh 1.140 kepala keluarga untuk lahan budidaya; Tingkat kejenuhan lahan yang mengakibatkan menurunnya infiltrasi dan meningkatnya run off. Akibat berbagai permasalahan yang terjadi di DAS Cidanau, kuantitas dan kualitas air dari Sungai Cidanau terus mengalami penurunan secara kuantitas maupun kualitas.
Pelaksanaan model pembayaran jasa lingkungan sudah diterapkan di daerah DAS Cidanau Banten. Dalam pelaksanaannya, dibentuk suatu Forum Komunikasi DAS Cidanau atau disingkat FKDC yang beranggotakan unsur masyarakat, pemerintah, LSM, dan swasta. Peran forum komunikasi DAS Cidanau dalam implementasi jasa lingkungan antara lain; mengelola dana hasil pembayaran jasa lingkungan dari pemanfaat (buyer) jasa lingkungan DAS Cidanau untuk rehabilitasi dan konservasi lahan di DAS Cidanau melalui lembaga pengelola jasa lingkungan DAS Cidanau, mendorong pembangunan hutan di lahan milik oleh masyarakat dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan, menggalang dana dari potensial pemanfaat jasa lingkungan DAS Cidanau, mendorong pemerintah untuk melakukan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau.
Jasa lingkungan dipahami sebagai positive externalities atau public goods yang berarti bahwa keuntungan yang diperoleh dari tersedianya jasa lingkungan tidak dapat dikompensasi. Tantangan lain yang dihadapi adalah dibutuhkannya kombinasi yang tepat antara pendekatan pasar dan penyiapan regulasi/kebijakan. Dalam hal ini peran pemerintah dalam aspek penciptaan regulasi dan kebijakan sangatlah penting.
Solusi Penerapan Mekanisme Jasa Lingkungan
Dalam pelaksanaan mekanisme pembayaran dan imbal jasa lingkungan, ditegaskan perlunya pendekatan bottom-up dalam setiap aspek pengembangannya. Mekanisme ini merupakan bertemunya ekuilibrium atau keseimbangan antara kesediaan menerima imbalan (willingness to accept) penyedia jasa lingkungan dengan kemampuan membayar imbalan (willingness to pay) pemanfaat jasa lingkungan. Banyak perangkat keuangan yang sebenarnya sudah menggambarkan mekanisme tersebut, sebagai contoh adalah pungutan, pajak, pinjaman lunak, dan lainnya, yang jika dimanfaatkan secara lebih efektif akan dapat mendukung mekanisme imbal jasa lingkungan.
Selain itu, agar mekanisme imbal jasa lingkungan tepat sasaran, perlu dikombinasikan secara simultan dan terintegrasi dengan pendekatan lainnya, seperti perencanaan spasial dan pembangunan institusi. Prinsip yang paling penting dalam menentukan mekanisme pembayaran dan imbal jasa lingkungan adalah keterlibatan jangka panjang mereka. Aspek-aspek paling kritis dalam diskusi mekanisme kompensasi adalah tujuan, orientasi dan aturan main mekanisme kompensasi itu sendiri.
Langkah-langkah kunci yang direkomendasikan dalam pengembangan skema imbal jasa lingkungan di Indonesia: pembuatan regulasi tingkat nasional, inventarisasi potensi selain dari inisiatif yang telah ada, pengemasan konsep melalui berbagai publikasi dan kegiatan ‘pemasaran’ ide agar mudah dipahami, penyiapan kapasitas pemangku kepentingan yang terkait: kelompok masyarakat penyedia jasa lingkungan, pemanfaat jasa lingkungan, pembuat regulasi (lembaga pemerintahan), lembaga perantara (ornop), dan penyiapan perangkat pemantauan dan evaluasi pelaksanaan skema imbal jasa lingkungan. Dalam pengembangan skema tersebut harus dihindarkan pemikiran sektoral, misalnya, antara departemen yang mengurusi air tidak sinkron dengan departemen yang mengurusi hutan. Pembayaran dan imbal jasa lingkungan harus diusahakan menjadi sebuah kebijakan (policy) dalam pembangunan lingkungan mengingat persoalan lingkungan adalah tanggung jawab bersama.
Penutup
Hubungan hulu–hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan merupakan perspektif baru, dalam membangun keseimbangan ekonomi diantara hulu dan hilir melalui hubungan yang saling menguntungkan dari ketergantungan hilir terhadap kestabilan ekosistem di hulu DAS Cidanau. Masyarakat di hulu DAS selama ini, selalu dibatasi oleh berbagai hal yang berkaitan dengan kuantitas dan kualitas lingkungan, terutama yang berkaitan dengan pelestarian tata air untuk tetap terjaganya kuantitas, kualitas dan keberlanjutan ketersediaan air baku untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat di hilir. Pengetahuan yang terbatas tentang optimalisasi dan pemanfaatan lahan, disertai dengan penguasaan lahan yang sangat terbatas dan pola serta jenis budidaya yang secara tradisional dikembangkan, mengakibatkan sebagian besar masyarakat di hulu terjebak dalam perangkap kemiskinan (poverty trap) yang pada akhirnya mendorong masyarakat untuk melakukan aktivitas yang berdampak pada turunnya kuantitas dan kualitas lingkungandi DAS Cidanau.
Dibangun dan dikembangkannya hubungan hulu – hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau, memberikan harapan dan aksesibilitas kepada masyarakat di hulu untuk meningkatkan kemampuan ekonomi mereka. Hal tersebut menjadi mungkin untuk dicapai, apabila seluruh stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan DAS Cidanau menyadari arti penting DAS Cidanau dalam mendukung proses pembangunan di hilir dengan pusat kegiatan pembangunan di wilayah Kota Cilegon.
Komentar ditutup.